Abu Dzar Al-Ghifari Sahabat Nabi Yang Kritis, Sederhana dan Setia

KISAH-KISAH KEMATIAN.
(BAGIAN KE 91)

ABU DZAR AL. GHIFFARI

Abu Dzar berasal dari suku Ghifar (dikenal sebagai penyamun pada masa sebelum datangnya Islam). Ia memeluk Islam dengan sukarela. Ia salah seorang sahabat yang terdahulu dalam memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi Muhammad langsung ke Mekah untuk menyatakan keislamannya.

Setelah menyatakan keislamannya, ia berkeliling Mekkah untuk mengabarkan bahwa ia kini adalah seorang Muslim, hingga memicu kekhawatiran serta kemarahan kaum kafir Quraisy dan membuatnya menjadi bulan - bulanan kaum Quraisy. Berkat pertolongan Abbas bin Abdul Muthalib, ia selamat dan suku Quraisy membebaskannya setelah mereka mengetahui bahwa orang yang dipukuli berasal dari suku Ghifar. Ia mengikuti hampir seluruh pertempuran-pertempuran selama Nabi Muhammad hidup.

Dia dikenal sangat setia kepada Rasulullah. Kesetiaan itu misalnya dibuktikan sosok sederhana ini dalam satu perjalanan pasukan Muslim menuju medan Perang Tabuk melawan kekaisaran Bizantium. Karena keledainya lemah, ia rela berjalan kaki seraya memikul bawaannya. Saat itu sedang terjadi puncak musim panas yang sangat menyayat.

Dia keletihan dan roboh di hadapan Nabi SAW. Namun Rasulullah heran kantong airnya masih penuh. Setelah ditanya mengapa dia tidak minum airnya, tokoh yang juga kerap mengkritik penguasa semena-mena ini mengatakan, "Di perjalanan saya temukan mata air.

Saya minum air itu sedikit dan saya merasakan nikmat. Setelah itu, saya bersumpah tak akan minum air itu lagi sebelum Nabi SAW meminumnya." Dengan rasa haru, Rasulullah berujar, "Engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian, dan engkau akan meninggal dalam kesendirian. Tapi serombongan orang dari Irak yang saleh kelak akan mengurus pemakamanmu." Abu Dzar Al Ghifary, sahabat setia Rasulullah itu, mengabdikan sepanjang hidupnya untuk Islam.

KEMATIAN ABU DZAR AL GHIFFARI

 Di kampung kecil, Rabadzah, tampak seorang perempuan kurus berkulit kemerah-merahan tengah duduk sambil menangis tersedu-sedu. Di dekatnya, suaminya yang sudah tua berwajah kusam sedang menghadapi sakratul maut. 

Suaminya itu berujar, ''Apa yang kamu tangisi, padahal maut itu pasti datang?'' Istrinya mengatakan, ''Anda akan meninggal, tetapi kita takpunya sehelai kain pun untuk kafanmu,'' jawab sang istri. Mendengar jawaban itu, ia hanya tersenyum. 

Setelah itu, ia meninggal. Tidak lama kemudian, datanglah serombongan kaum mukmin yang dipimpin Abdullah bin Mas'ud. Melihat sesosok mayat yang sudah terbujur kaku dalam kondisi yang cukup menyedihkan itu, air mata Ibnu Mas'ud meleleh lebat. 

Rupanya, ia mengenal siapa sosok yang meninggal tersebut. Seraya berkata, ''Benarlah prediksi Rasulullah! Anda berjalan sebatang kara, mati sebatang kara, dan dibangkitkan sebatang kara!'' Itulah akhir hayat sahabat nabi yang terkenal gemar mengampanyekan hidup sederhana, Abizar, dari suku Ghifar. 

Selain itu, sahabat yang memiliki nama asli Jundub bin Junadah itu, sepanjang hayatnya dikenal rewel dan lantang kepada para pejabat yang kerap menyalahgunakan kekuasaan demi menumpuk kekayaan pribadi. Sikap kritisnya sering membuat merah telinga para pejabat saat itu. 

Pernah suatu ketika, tanpa gentar dan tedeng aling-aling, ia menanyakan harta kekayaan Muawiyah sebelum akhirnya terpilih menjadi Gubernur Suriah yang merupakan wilayah paling ''basah'' ketika itu. 

Banyak para pejabat yang berlomba-lomba memiliki gedung dan tanah pertanian. Sambil mengutip Alquran surah At-Taubah ayat 24-35, Abu Dzar kerap mengingatkan mereka, ''Sampaikan kepada para penumpuk harta akan seterika api neraka!'' Muawiyah resah. 

Ia merasa terancam dengan kehadiran Abizar. Ia lalu menulis surat kepada Khalifah Utsman untuk meminta agar Abu Dzar dipanggil ke Madinah. Permintaan dikabulkan. Abizar kembali ke Madinah. Ia akhirnya dipinggirkan. Nasib para pejuang yang lantang membela kebenaran dan kritis kepada penguasa memang selalu tragis. 

Sejarah memberitahu bahwa berupaya keras memperjuangkan nasib rakyat lemah sering berakhir dengan ''kehinaan''. Ia Dicampakkan dan dimarjinalkan penguasa dari kehidupan yang layak. Bahkan, kalau perlu dibuang ke luar negeri. Hidup seorang diri, mati seorang diri, dan kelak dibangkitkan seorang diri pula. Sebagai satu-satunya tokoh istimewa dengan kemuliaan tersendiri! 

Wallahu A’lam.

 DEMIKIAN KISAH ABU DZAR AL GHIFFARI,MENYEDIHKAN DIMATA MANUSIA,MULIA DALAM PANDANGAN ALLOH SWT.

SEMOGA KITA TETAP ISTIQOMAH DAN WAFAT DALAM HUSNUL KHOTIMAH

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Bersambung ke seri ( 92)
Semoga ada usia berkah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Tugas Host “(Operator Plus)” dan Moderator di Ruang Zoom Meeting

Kenapa membaca doa dari ayat Al-Qur'an tidak menggunakan tajwid?

Khutbah sholat gerhana(bahasa sunda)